Pakar Hukum Tata Negara (HTN), Refly Harun, mengatakan pembahasan atau diskusi mengenai pemberhentian seorang presiden merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini, karena Undang Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia mengatur tentang pemberhentian presiden. Dia meminta agar semua pihak membedakan antara diskusi dan gerakan memberhentikan presiden.
"Sah saja diskusi hal impeachment, karena itu ada ayat di konstitusi. Bedakan dengan gerakan (impeachment, red). Gerakan lain lagi masalahnya," kata Refly, di sesi diskusi "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid 19, Senin (1/6/2020). Webinar Nasional itu diselenggarakan Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) dan Kolegium Jurist Institute (KJI). Dia mengkategorikan gerakan impeachment menjadi tiga hal.
Tiga hal tersebut, yaitu gerakan konstitusional, gerakan inkonstitusional, dan gerakan ekstra konstitusional. Dia menjelaskan, gerakan konstitusional misalnya ada warga negara menginginkan memberhentikan presiden. Kemudian, warga negara itu atau kelompok yang bersangkutan meminta DPR RI menggelar hak angket untuk memberhentikan presiden.
"Hal itu sah secara konstitusional," ujarnya. Sementara itu, gerakan inkonstitusional berupa gerakan berkumpul bersenjata untuk membuat taktik memecah belah bangsa sehingga menimbulkan disintegrasi. "Maka menurut KUHP (gerakan, red) itu makar," ujarnya.
Terakhir, gerakan ekstra konstitusional. Dia menilai gerakan tersebut sulit diantisipasi. Hanya saja, dia mengingatkan, agar tidak lagi terjadi pergantian presiden pada saat belum selesai masa jabatan. "Yang paling penting presiden tidak ada lagi cerita dijatuhkan di tengah jalan. Secara wacana sah dibicarakan," kata dia.
Selain pemberhentian presiden, kata dia, terdapat juga istilah pemunduran diri. Menurut dia, pemunduran diri itu hak subjektif yang bersangkutan. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2001 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengatur tentang pejabat negara yang memundurkan diri dari jabatan. "Imbauan TAP MPR Nomor 6 Tahun 2011 tentang etika berbangsa dan bernegara kalau pejabat negara sudah tidak dapat kepercyaan rakyat dengan sukarela mengundurkan diri. Tidak berlaku hanya untuk presiden, tetapi untuk semua pejabat, tidak ada pemaksaan," ujarnya.
Untuk meminta presiden mundur, dia menambahkan, hal itu sah saja. Namun, yang tidak diperbolehkan memaksa presiden memundurkan diri. "Meminta presiden mundur itu sah, tetapi memaksa presiden mundur tidak boleh," tambahnya.