Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah terkait penyelenggaraan program Kartu Prakerja setelah mendapatkan sejumlah temuan permasalahan. Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menilai sebaiknya program Kartu Prakerja tidak dilanjutkan. Menurut Adnan, sebaiknya program ini digantikan dengan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) terhadap masyarakat yang terdampak pandemi Covid 19.
"Program Kartu Prakerja sebagaimana rekomendasi KPK itu harus dibatalkan, diganti dengan skema BLT murni," tutur Adnan. Menurut Adnan, rekomendasi tersebut menggambarkan peran sentral KPK dalam mengawasi program pemerintah terkait penanganan pandemi Covid 19. Termasuk dalam konteks upaya penanganan dugaan masalah hukum terkait program Kartu Prakerja. Meski begitu, Adnan belum melihat langkah KPK dalam melakukan upaya hukum terhadap dugaan penyelewengan pada program Kartu Prakerja.
"Itu dari fungsi pengawasan dalam konteks pencegahan. Kita belum melihat apakah KPK akan melakukan upaya upaya hukum terhadap konteks," tutur Adnan. Sebelumnya, KPK melakukan kajian atas Program Kartu Prakerja dan menemukan sejumlah permasalahan pada empat aspek. Aspek pertama yang mendapat sorotan yakni proses pendaftaran. Ada 1,7 juta pekerja terdampak (whitelist) sesuai data Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Namun, faktanya, hanya sebagian kecil dari whitelist tersebut yang mendaftar secara daring, yaitu 143.000 orang. "Sedangkan, sebagian besar peserta yang mendaftar untuk tiga gelombang yaitu sebesar 9,4 juta pendaftar, bukanlah target yang disasar oleh program ini," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Kamis (18/6/2020). Kedua, KPK menemukan kerja sama dengan delapan platform digital tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Dalam hal ini, KPK mendorong agar pemerintah meminta legal opinion kepada Kejaksaan Agung tentang kerja sama delapan platform digital dalam program Kartu Prakerja, termasuk penyediaan barang dan jasa pemerintah atau bukan. Ketiga, KPK juga menilai, kurasi materi pelatihan tidak dilakukan dengan kompetensi yang memadai. Alex menyebut hanya 13 persen dari 1.895 pelatihan yang memenuhi syarat, baik materi maupun penyampaian secara daring. Keempat, KPK menilai metode pelaksanaan program pelatihan secara daring rawan jadi fiktif, tidak efektif, dan dapat merugikan keuangan negara.
"Karena metode pelatihannya hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme pengendalian atas penyelesaian pelatihan yang sesungguhnya oleh peserta," ujar Alex.